Cerita Dewasa | Pesta Seks bersama 3 Gadis Desa
- Cenit bersandar di dinding, gadis itu duduk sambil memeluk kedua
lututnya. Setengah busana atasnya masih rapi tapi seluruh rok dan
celananya sudah terbuka. Menampakkan kedua paha yang putih mulus dan
montok. Sementara tumpukan daging putih kemerahan menyembul di sela
rambut-rambut hitam yang nampak baru dicukur.
Sedikit tengadah dan dengan tatapan mata sendu ia berujar lirih…
“Masukkanlah, Kak! Aku juga ingin menikmatinya….”
Aku hanya terdiam.. kami sama-sama sudah membuka busana bagian bawah, beberapa menit kemudian kami bergelut di pojok ruangan itu. Dengan penuh nafsu ku tekankan tubuhku ke tubuh gadis itu. Ia membalas dengan merengkuh leherku dan menciuminya penuh nafsu.
“Masukkanlah, Kak! Aku juga ingin menikmatinya….”
Aku hanya terdiam.. kami sama-sama sudah membuka busana bagian bawah, beberapa menit kemudian kami bergelut di pojok ruangan itu. Dengan penuh nafsu ku tekankan tubuhku ke tubuh gadis itu. Ia membalas dengan merengkuh leherku dan menciuminya penuh nafsu.
Tubuhnya terasa
panas dan membara oleh gairah, bertubi-tubi kuciumi leher, pundak dan
buah dadanya yang kenyal dan besar itu. Ia hanya melenguh-lenguh melepas
nafasnya yang menderu. Setiap remasan dan kuluman… diiringi dengan
erangan penuh kenikmatan.
Tanpa kusuruh ia membuka sebagian
kancing bajunya. Menampakkan onggokan buah dada yang membulat dan putih.
Tanpa membuka tali beha ia mengeluarkan buah dadanya itu dan
mengasongkannya ke mulutku. Dengan rakus kukulum buah dada besar Cenit
sepenuh mulutku. Ia mengerang antara sakit dan enak. Nafasku pum semakin
tersendat, hidungku beberapa kali terbenam ke bulatan kenyal dan hangat
itu.
Puncak dadanya basah oleh air liurku yang meluap karena
nafsu. Licin dan agak susah meraih puting susunya yang mungil kemerahan
itu. Jelas sekali kulihat proses peregangannya. Semula puting susu itu
terbenam, namun dalam sekejap saja dia keluar menonjol dan mengeras.
Cenit tahu susah mengulumnya tanpa memegang karena aku mencengkram erat
leher dan pinggang gadis itu. Tanpa menunggu waktu ia memegangi buah
dadanya dan mengarahkan putingnya ke mulutku.
Aku pun mengulumnya
seperti bayi yang kehausan. Mengulum dan menyedot sampai terdengar
berbunyi mendecap-decap. Kulihat gadis itu, dalam sayu matanya merasakan
kenikmatan, bibirnya tersungging senyuman dan tawa kecil.
"Gigit sedikit, Kak." pintanya padaku.
Aku menuruti kemauannya, dengan gigiku kugigit sedikit puting susunya.
"Aih…." Jeritnya lirih sambil menggigit bibir.
Barangkali ia tengah merasakan sensasi rangsangan nikmat luar biasa di bagian itu. Kurasakan tubuhnya melunglai menahan nikmat.
"Gigit sedikit, Kak." pintanya padaku.
Aku menuruti kemauannya, dengan gigiku kugigit sedikit puting susunya.
"Aih…." Jeritnya lirih sambil menggigit bibir.
Barangkali ia tengah merasakan sensasi rangsangan nikmat luar biasa di bagian itu. Kurasakan tubuhnya melunglai menahan nikmat.
Kemudian
tubuh kami saling mendekap semakin rapat. Gairah dan rangsangan nikmat
menjalar dan memompa alirah darah semakin kencang. Secara naluriah aku
menyelusuri tubuh sintal Cenit. Mulai dari leher, terus ke punggung,
meremas daging hangat di pinggul… terus ke bagian bawah. Akhirnya
menyelip di antara paha. Gadis itu membuka pahanya sedikit, mengizinkan
tanganku menggerayangi daerah itu.
Dalam pelukan erat, tanganku mencoba masuk…
"ehm.. " bagian itu terasa hangat dan basah.
Cenit menggeser pantatnya sedikit. Kedua matanya memejam sembari menggigit bibir, desah-desah halus keluar tak tertahankan. Detak jantungku semakin kencang ketika kubayangkakn apa yang terjadi di’sana’.
Dalam pelukan erat, tanganku mencoba masuk…
"ehm.. " bagian itu terasa hangat dan basah.
Cenit menggeser pantatnya sedikit. Kedua matanya memejam sembari menggigit bibir, desah-desah halus keluar tak tertahankan. Detak jantungku semakin kencang ketika kubayangkakn apa yang terjadi di’sana’.
Gadisku
menggelinjang, nafasnya sesekali tertahan, sesekali ia seperti
menerawang, apa yang dia harapkan? Aku tahu, dia menginginkan itu, dia
mendorong-dorongkan pantatnya ke depan, agar bagian itu lebih tersentuh
oleh jemariku. Dengan penuh pengertian aku pun turun… dari leher… buah
dada.. wajahku terseret ke bawah, menikmati setiap lekuk liku tubuhnya
yang hangat. Setiap sentuhan dan gesekan menimbulkan rintihan lirih dari
mulutnya. Wajahnya menengadah, matanya setengah terpejam, bibir agak
terbuka, dan sedikit air liur menetes dari salah satu sudutnya.
“Teruskan, kak… jangan hentikan..!” pintanya.
“Puaskan aku….?” katanya lagi tanpa rasa sungkan.
Yah, tak ada rahasia di antara kami. Apa yang dia inginkan untuk memuaskan hasratnya, pasti dia minta, kapan saja kami bertemu. Begitu pula aku… kalau lagi pingin, dia pasti kasih.
“Puaskan aku….?” katanya lagi tanpa rasa sungkan.
Yah, tak ada rahasia di antara kami. Apa yang dia inginkan untuk memuaskan hasratnya, pasti dia minta, kapan saja kami bertemu. Begitu pula aku… kalau lagi pingin, dia pasti kasih.
Perlahan aku
menyusuri tubuhnya ke bagian bawah. Sekarang aku sudah di atas perutnya
yang mulus. Aku bermain-main sebentar di sana. seluruh tubuh Cenit
memang sangat menggairahkan. Tidak ada lekuk tubuhnya yang tidak indah.
Aku sangat menikmati semuanya. Tiba-tiba Cenit memegang kepalaku,
meremas sedikit rambutku dan mendorong kepalaku ke bawah.
“Ayo, Kak, udah gak tahan nih..! Jangan di situ aja dong….Aih..” Aku menurut….
“Ayo, Kak, udah gak tahan nih..! Jangan di situ aja dong….Aih..” Aku menurut….
Dulu
aku bilang aku ingin merasakan dan menjilati kemaluannya, dia bilang
hal itu menjijikkan. Dalam keadaan terangsang dia sangat menginginkanya.
Sesampai di bagian itu… aku terpana menyaksikan pemandangan indah
terbentang tepat di depan mataku. Setumpuk daging berwarna kemerahan
berkilat di celah-celahnya …Bagian itu, bibir kemaluan Cenit yang merah
dan basah dipenuhi cecairan lendir yang bening. Dengan kedua jari
telunjuk ku buka celah itu lebih lebar… Klentitnya menyembul… nampak
berkedut karena rangsangan nikmat tidak terkira.
Berkali-kali ia
berkedut… setiap denyutan dibarengi dengan nafas dan rintih tertahan
gadis itu. Aku memandang ke atas. Ke arah payudaranya yang terbuka,
putingnya semakin mengeras. Nafasnya terengah-engah, buah dada Cenit
yang putih itu nampak naik turun dengan cepat. Kulihat lagi kemaluan
gadisku itu… semakin merah dan merekah. Kubuka lagi dengan dua
telunjukku… cairan kental pun mengalir deras. Meluap dan merembes sampai
ke sela paha, persis seperti orang yang sedang ngiler. Cairan itu terus
mengalir perlahan… sampai ke arah anus. Kemudian perlahan berkumpul dan
akhirnya menitik ke lantai. Semakin lama semakin banyak titik-titik
lendir bening yang jatuh di lantai kamar itu.
Terasa ia merenggut
rambutku… dan menekankan kepalaku ke arah vaginanya yang sedang
terangsang itu. Aku pun semakin bernafsu…. Dengan penuh semangat aku pun
mulai mengulum dan menjilati seluruh sudut kemaluan Cenit…
“Ahh…. Ahhhh… nikmat sekali, Kak!” Cenit merintih,
tubuhnya menegang, cengkramannya di kepalaku semakin kuat. Pahanya mengempot menekan ke arah mukaku, sementara kemaluannya semakin merah dan penuh dengan lendir yang sangat licin.
“Ahh…. Ahhhh… nikmat sekali, Kak!” Cenit merintih,
tubuhnya menegang, cengkramannya di kepalaku semakin kuat. Pahanya mengempot menekan ke arah mukaku, sementara kemaluannya semakin merah dan penuh dengan lendir yang sangat licin.
Aku pun semakin dalam
menusuk-nusukkan lidahku ke liang senggamanya. Beberapa kali klentitnya
tersentuh oleh ujung gigiku, setiap sentuhan memberi pengaruh yang
hebat. Gadis itu melolong menahan nikmat… aku terus menyelusuri bagian
terdalam vaginanya. Oh… hangat dan sangat-sangat basah. Tak bisa
kubayangkan kenikmatan apa yang dirasakannya saat ini. barangkali sama
nikmatnya dengan rangsangan yang kuperoleh dari kemaluanku yang juga
sudah mengeras sedari tadi.
Rasanya sangat nikmat dan tergelitik
terutama di bagian pangkal… rasanya ingin aku melepaskan nikmat di saat
itu juga. Tapi aku harus menyelesaikan permainan awal ini dulu, gadis
ini minta untuk segera di tuntaskan.
Semakin aku memainkan
kemaluannya, semakin ia mengempot dan menekankan kepalaku ke arahnya.
Sesekali aku menengadah menatap wajahnya yang merah. Tampak ia menghapus
air liurnya yang mengucur dengan lidahnya yang merah itu. Tiba-tiba ia
tertawa mengikik… seperti ada yang lucu. Ia mengusap wajahku yang
bergelimang cairan vaginanya. Sambil memandangku penuh pengertian.
“Lagi, Kak” pintanya.
“Lagi, Kak” pintanya.
Aku
mengulangi lagi kegiatan itu, ia pun kembali merintih-rintih menahan
rangsangan hebat itu di kemaluannya. Beberapa kali klentit itu kusentuh
dengan ujung gigi…. Tiba saatnya, dia sudah sampai mendekati puncak.
Nafas semakin memburu dan tubuhnya menegang hebat beberapa kali. Tanpa
sungkan lagi, ia mengeluarkan lolongan penuh kenikmatan ketika rasa enak
itu tiba…
“Ohhhhh… hhhh…ahhhhhhhh…” jeritnya lepas.
“Enak sekali…”
“Ohhhhh… hhhh…ahhhhhhhh…” jeritnya lepas.
“Enak sekali…”
Pantatnya
mengempot ke depan setiap denyutan nikmat itu menyergap vaginanya… dan
setiap denyutan diiringi dengan keluarnya cairan yang lebih banyak lagi.
Beberapa cairan itu bagaikan menyembur dari liang senggamanya, aku
mundur sebentar, melihat bagaimana bentuknya vagina yang sedang
mengalami orgasme. Tegang, merah, basah… berkedut-kedut, cairan pun
membanjir sampai ke kedua pahanya….. mengalir dengan banyaknya sampai ke
mata kaki… Aku pun tidak tahan melihat keadaan itu, cepat aku berdiri…
mengasongkan kemaluanku yang sudah tegang itu ke arahnya.
Ia
memelukku, terasa tubuhnya bersimbah peluh, wajahnya yang memerah karena
baru melepas nikmat itu disusupkannya ke leherku. Memelukku semakin
kuat…
“Puaskanlah dirimu, Kak!”
Aku pun mendekap tubuh sintal itu semakin erat. Rasa nikmat berkecamuk di titik kemaluanku. Terasa semakin menegang dan mengeras…. Tapi aku ingin merasakan sensasi yang lain.
“Puaskanlah dirimu, Kak!”
Aku pun mendekap tubuh sintal itu semakin erat. Rasa nikmat berkecamuk di titik kemaluanku. Terasa semakin menegang dan mengeras…. Tapi aku ingin merasakan sensasi yang lain.
Kuturunkan kepala gadis itu ke bagian itu. Ia menurut,
perlahan ia menyusuri tubuhku dari dada terus turun ke bawah. Seperti
yang kulakukan tadi, mulutnya menciumi perutku dan terus turun… sesampai
di bagian itu ia memandangi penis yang selama ini selalu dia senangi.
Ia menengadah.. memandangku dengan senyuman nakal….
“Besar sekali punyamu, Kak! Ini untukku untuk selamanya,” katanya sambil mengelus dan mulai meremas pangkalnya.
Aku terkesiap… jemari lembut itu mulai mengocok-ngocok kemaluanku dengan penuh cinta.
“Besar sekali punyamu, Kak! Ini untukku untuk selamanya,” katanya sambil mengelus dan mulai meremas pangkalnya.
Aku terkesiap… jemari lembut itu mulai mengocok-ngocok kemaluanku dengan penuh cinta.
“Nikmatilah,
Kak! Aku ingin kamu menikmati dan merasakan kenikmatan seperti yang aku
rasakan, kamu milikku, tidak boleh untuk orang lain….”
Aku mengangguk sambil tersenyum, perempuan kalau sudah cinta dan ingin pasti mau melakukan apa saja.
Perlahan ia mulai mengocok pengkal kemaluanku… sesekali ia mengecup bagian kepalanya yang seperti topi baja itu. Lembut dan penuh kasih sayang. Beberapa kali pula ia menempelkannya di pipi sambil matanya terpejam.
Aku mengangguk sambil tersenyum, perempuan kalau sudah cinta dan ingin pasti mau melakukan apa saja.
Perlahan ia mulai mengocok pengkal kemaluanku… sesekali ia mengecup bagian kepalanya yang seperti topi baja itu. Lembut dan penuh kasih sayang. Beberapa kali pula ia menempelkannya di pipi sambil matanya terpejam.
“Ohh.. inilah yang aku impikan selama ini. Kepunyaanku milik kekasihku yang perkasa…”
Kemudian ia meningkatkan kocokannya, kedua jemari tangan menggenggam dan meremas-remas menimbulkan rasa geli luar biasa. Kemaluanku semakin menegang menahan nikmat.. keras dan enak. Gadis itu sangat lihai mempermainkan jemarinya, seolah dia turut merasakan apa yang kurasakan. Sambil terus jongkok dan menciumi pangkal kemaluanku jemarinya terus juga digesekkannya.
Kemudian ia meningkatkan kocokannya, kedua jemari tangan menggenggam dan meremas-remas menimbulkan rasa geli luar biasa. Kemaluanku semakin menegang menahan nikmat.. keras dan enak. Gadis itu sangat lihai mempermainkan jemarinya, seolah dia turut merasakan apa yang kurasakan. Sambil terus jongkok dan menciumi pangkal kemaluanku jemarinya terus juga digesekkannya.
Akhirny aku pun tak tahan lagi… aku merenggut
rambut di kepalanya, tubuhku pun menegang. Aku mendorong pantatku ke
depan, pahaku mengejang menahan sesuatu yang bakal kukeluarkan.
“Cenit…” kataku sambil mencengkram rambutnya.
Ia menatapku, wajahnya tepat di ujung kemaluanku yang sedang dicengkeramnya. Gadis itu tersenyum kecil…. Dia senang menatapku yang sedang dalam puncak nikmat.
“Cenit…” kataku sambil mencengkram rambutnya.
Ia menatapku, wajahnya tepat di ujung kemaluanku yang sedang dicengkeramnya. Gadis itu tersenyum kecil…. Dia senang menatapku yang sedang dalam puncak nikmat.
Maka, sambil setengah terpejam, aku
pun mengeluarkan segalanya, kemaluanku meledak dalam genggaman tangan
Cenit, menyemburkan air manikyang sangat banyak, mengenai seluruh muka
gadis itu. Sebagian ada yang menyembur dan kena ke rambutnya. Kelopak
mata gadis itu berkedip menahan serangan air mani yang mendarat di
wajahnya…
“Hhhh…hhhh.hh,” perlahan nafasku mulai teratur… puncak itu sudah sampai, nikmat tak terlukiskan kata-kata.
“Hhhh…hhhh.hh,” perlahan nafasku mulai teratur… puncak itu sudah sampai, nikmat tak terlukiskan kata-kata.
Cenit
bangkit berdiri dan menuju pojok ruangan. Paha dan pantat mulusnya
nampak gemulai ketika ia melangkah. Gadis itu mengambil baju,
mengusapkannya di wajah yang penuh cairan mani. Menoleh ke arahku sambil
tersenyum, kemudian berjalan ke arahku. Merentangkan kedua tangan,
memelukku dan menempelkan pipinya di pipiku.
“Enak ya, Kak”
Aku mengangguk, memeluk tubuh yang masih bersimbah peluh itu. Memandang matanya lekat-lekat. Ia membalas tatapanku, “Aku sangat mencintaimu, Kak. Kaulah milikku dan milikilah aku selamanya…”
“Enak ya, Kak”
Aku mengangguk, memeluk tubuh yang masih bersimbah peluh itu. Memandang matanya lekat-lekat. Ia membalas tatapanku, “Aku sangat mencintaimu, Kak. Kaulah milikku dan milikilah aku selamanya…”
Entah berapa
lama kami berpelukan sambil berdiri. Ketika angin berdesir melalui
kisi-kisi jendela, terasa semuanya sudah mengendur. Jiwa dan raga sudah
terpuaskan. Sekarang waktunya merapikan pakaian, duduk mengobrol di
ruang tamu. Sebentar lagi teman-teman kost kekasihku akan pulang. Kami
akan mengobrol di ruang tamu, bercanda, seperti tidak ada kejadian apa
pun sebelumnya.
Tiba-tiba gadis itu berdiri seperti tersentak
kaget. Ia memandangku sambil tersenyum kecil. Aku tak mengerti ketika ia
menunjuk dengan sudut matanya ke arah lantai. Ha ha ha… hampir lupa,
cairan itu masih berserak di lantai. Buru-buru ia pergi ke belakang dan
kembali dengan secarik kain. Perlahan dia lap lendir-lendir itu dengan
kain tadi.
“Ini punyaku…” katanya sambil menunjuk setitik cairan.
“Dan ini punyamu, Kak!” hehe aku tersenyum.
“Dari mana kamu membedakan keduanya?” tanyaku sambil mengambil sebatang rokok. Seraya bangkit dan tertawa…
“Punya perempuan dan laki-laki jelas beda. Punyaku lebih bening…”
“Tapi punyaku lebih enak kan?” kataku bercanda.
“Iya dong sayang…. ” katanya seraya menghampiriku dan mengusap wajahku penuh kasih dan sayang.
“lain kali kita masukin ya . Kak. Aku ingin lebih menikmatinya..” bisik gadis itu,
“Aku ikhlas demi Kakak…” bisiknya lagi di telingaku.
Ia melingkarkan tangannya di leherku, aku pun memeluk tubuh sintal dan bermandi peluh itu lebih erat.
“Dan ini punyamu, Kak!” hehe aku tersenyum.
“Dari mana kamu membedakan keduanya?” tanyaku sambil mengambil sebatang rokok. Seraya bangkit dan tertawa…
“Punya perempuan dan laki-laki jelas beda. Punyaku lebih bening…”
“Tapi punyaku lebih enak kan?” kataku bercanda.
“Iya dong sayang…. ” katanya seraya menghampiriku dan mengusap wajahku penuh kasih dan sayang.
“lain kali kita masukin ya . Kak. Aku ingin lebih menikmatinya..” bisik gadis itu,
“Aku ikhlas demi Kakak…” bisiknya lagi di telingaku.
Ia melingkarkan tangannya di leherku, aku pun memeluk tubuh sintal dan bermandi peluh itu lebih erat.
Malam
belum begitu larut ketika aku dan Liani sedang asyik bercinta di ruang
tamu rumah kostnya. Tubuh montok gadis itu terbaring pasrah di atas
dipan sederhana yang terletak di salah satu sudut ruangan. Sedari tadi
punyaku keluar masuk menyelusuri seluruh lipatan kemaluan gadis itu.
Berkali-kali
gadis itu menggeram menahan rasa. Lipatan basah dan hangat itu terasa
sesekali menyempit. Dia sungguh menikmatinya gesekan-gesekan itu, aku
juga. Yang hebatnya, gadis satu ini sepertinya tidak memerlukan
foreplay. Kami langsung melakukannya begitu saja. Cukup dengan tatapan
mata, kami sudah tahu apa yang kami inginkan, kepuasan di malam yang
basah oleh rintik hujan ini.
Jam delapan malam aku ada janji
dengan Cenit kekasihku untuk bertemu di rumah kost khusus putri ini.
Padahal malam ini bukan malam minggu seperti biasanya kami bertemu. Tapi
dia sms aku minta ketemuan, ada yang penting katanya. Aku paham yang
penting itu apa.
Yang aku tidak mengerti ketika aku tiba di rumah
kost itu, ternyata dia tidak ada. Liani teman sekost nya yang
menyambutku. Dia suruh aku masuk dan ketika kutanyakan kemana Cenit, dia
bilang sedang keluar sebentar, ada perlu dan dia pergi dengan Rinay
kawan sekampungnya. Dia bilang, kata Liani, suruh tunggu saja nggak akan
lama kok. Liani, gadis lain desa yang bertubuh tinggi semampai berkulit
putih dan berambut panjang itu menyuruhku duduk.
Tak lama dia
pergi ke belakang , mau bikin minum katanya. Aku manut saja seraya
mengambil sebatang rokok. Diam-diam kerhatikan tubuh gadis itu dari
belakang ketika berlalu. Cukup lumayan, tinggi dan lumayan montok.
Apalagi malam ini dia hanya menggunakan sehelai baju tidur sebatas lutut
tanpa lengan. Menampakkan gumapalan-gumpalan indah khas gadis desa yang
terbiasa bekerja cukup keras.
Tak terasa aku menghela nafas
sambil menyaksikan pemandangan tubuh Liani yang gemulai menuju ke ruang
belakang yang agak gelap itu. Pantatnya lumayan besar dan berisi,
sementara kedua betis tampak putih mulus dengan tumitnya yang kemerahan.
Kalau tidak ingat Cenit kekasihku, mungkin gadis ini pun sudah
kupacari, tapi katanya dia sudah punya pacar, entah siapa aku belum
pernah ketemu dengan lelaki yang katanya jadi pacarnya itu.
Tak lama kemudian gadis itu kembali sambil membawa nampan dengan segelas air putih.
“Maaf, Bang, cuma ini yang aku sediakan,” katanya sambil setengah embungkuk meletakkan gelas itu di meja di hadapanku.
Tanpa sadar belahan dada gaun tidur gadis itu agak melorot, menampakkan dua bulatan putih yang mau tidak mau merasuk ke mataku. Kuakui tubuhnya sangat sintal. Walaupun tinggi semampai, tubuh itu tampak padat dan berisi. Buah dadanya tampak menantang tatkala ia berdiri.
“Maaf, Bang, cuma ini yang aku sediakan,” katanya sambil setengah embungkuk meletakkan gelas itu di meja di hadapanku.
Tanpa sadar belahan dada gaun tidur gadis itu agak melorot, menampakkan dua bulatan putih yang mau tidak mau merasuk ke mataku. Kuakui tubuhnya sangat sintal. Walaupun tinggi semampai, tubuh itu tampak padat dan berisi. Buah dadanya tampak menantang tatkala ia berdiri.
Liani mengibas-ngibaskan rambut panjangnya di depanku. Bibirnya tersenyum.
“Ada perlu apa, Bang? Kok tumben nggak malam mingguan ke sininya?” tanyanya sambil membenahi rambutnya yang indah itu. Ia menatapku dari sudut matanya.
“Ada perlu apa, Bang? Kok tumben nggak malam mingguan ke sininya?” tanyanya sambil membenahi rambutnya yang indah itu. Ia menatapku dari sudut matanya.
Gadis yang satu ini memang memanggilku dengan
sebutan ‘Bang’, tidak seperti yang lain memanggilku ’Kakak’. Aduhai
tubuhmu Liani sangat sintal dan lagak lagumu malam ini seperti bukan
kepada orang lain saja. Gadis itu duduk dengan santainya di depanku
sembari memegangi nampan di perutnya. Tak ada canggung sedikit pun
ketika mengangkat kedua kakinya dan membiarkan gaunnya yang selutut itu
tertarik sampai ke batas paha. Aku menelan air liur ku sendiri. Di rumah
kost yang sepi ini hanya kami berdua sementara Cenit dan Rinay entah ke
mana….
“Masih lama mereka kembali, Liani?” tanyaku asal saja sambil meraih gelas minumku.
Gadis itu menatapku lurus-lurus di mataku. Entah apa yang ada dalam benaknya malam ini.
“Entah.” Katanya sambil menggeliat, merentangkan tangannya, kedua pangkal lengannya terangkat ke atas menampakkan ketiaknya yang bersih.
“Mungkin dua puluh menit atau setengah jam lagi mereka kembali. ada perlu, Bang.” Gadis itu menguap dengan enaknya di depanku.
Kemudian ia menengadah menampakkan lehernya yang putih mulus itu. Hmm.. gadis ini agak-agak mirip Chinese walau sebenarnya bukan. Tapi terus terang aku cukup tertarik dengan kesintalannya.
Gadis itu menatapku lurus-lurus di mataku. Entah apa yang ada dalam benaknya malam ini.
“Entah.” Katanya sambil menggeliat, merentangkan tangannya, kedua pangkal lengannya terangkat ke atas menampakkan ketiaknya yang bersih.
“Mungkin dua puluh menit atau setengah jam lagi mereka kembali. ada perlu, Bang.” Gadis itu menguap dengan enaknya di depanku.
Kemudian ia menengadah menampakkan lehernya yang putih mulus itu. Hmm.. gadis ini agak-agak mirip Chinese walau sebenarnya bukan. Tapi terus terang aku cukup tertarik dengan kesintalannya.
“Kenapa gitu, Bang? Bosen ya… Nggak sabar ingin cepat ketemu.”
“Tahu aja perasaan orang…” jawabku sambil tertawa kecil.
“Hmm… tahu dong. Nggak sabar pengen… ”
“Pengen apa, hayo!”
“Pengen … ‘itu’ ya… ” katanya nakal sambil terkekeh.
“Itu apa? Itu … kalau itu kamu juga punya kan?” kataku agak sembrono.
Gadis itu merapikan posisi duduknya agak cepat. Tapi kemudian dia santai lagi sambil terus menggeliat, seolah ada kepenatan yang hendak dilepaskan dari tubuhnya itu. Dua gundukan dada itu menyembul dari balik gaun tidurnya yang berwarna biru itu. Tampak tali behanya yang berwarna hitam.
“Tahu aja perasaan orang…” jawabku sambil tertawa kecil.
“Hmm… tahu dong. Nggak sabar pengen… ”
“Pengen apa, hayo!”
“Pengen … ‘itu’ ya… ” katanya nakal sambil terkekeh.
“Itu apa? Itu … kalau itu kamu juga punya kan?” kataku agak sembrono.
Gadis itu merapikan posisi duduknya agak cepat. Tapi kemudian dia santai lagi sambil terus menggeliat, seolah ada kepenatan yang hendak dilepaskan dari tubuhnya itu. Dua gundukan dada itu menyembul dari balik gaun tidurnya yang berwarna biru itu. Tampak tali behanya yang berwarna hitam.
“Ngeliatin apa sih?” katanya sambil memperbaiki tali kutang yang agak melorot di bahunya.
“Nggak.” Jawabku sekenanya.
Ku lihat ia menatapku tajam. Aku balas menatap. Wajahnya tampak memerah. Aku menahan nafas. Apa rasanya gadis ini? apa bedanya dengan Cenit kekasihku?
“Nggak.” Jawabku sekenanya.
Ku lihat ia menatapku tajam. Aku balas menatap. Wajahnya tampak memerah. Aku menahan nafas. Apa rasanya gadis ini? apa bedanya dengan Cenit kekasihku?
Pikiran-pikiran itu berkelebat cepat begitu saja.
Seolah dunia sudah jungkir balik. Tak ingat lagi dengan Cenit, dengan
Rinay temannya yang barangkali akan pulang. Aku pun bangkit, meraih
tangan gadis itu. Liani diam saja, tapi dia tersenyum sambil tertawa
sedikit.
“Nggak ada waktu, Kak…” katanya pelan tapi membalas remasan tanganku.
Kuselipkan jemariku di jemarinya, dia membalas. Matanya menatapku seolah mengatakan, kalau ingin melakukannya lakukanlah sekarang juga mumpung Cenit dan Rinay belum pulang. Dan itu tidak masalah apakah mereka akan tahu atau tidak, aku pandai menjaga rahasia.
Kuselipkan jemariku di jemarinya, dia membalas. Matanya menatapku seolah mengatakan, kalau ingin melakukannya lakukanlah sekarang juga mumpung Cenit dan Rinay belum pulang. Dan itu tidak masalah apakah mereka akan tahu atau tidak, aku pandai menjaga rahasia.
Bisikan-bisikan
itu mengiang di telingaku semakin membuat gairahku bangkit. Apalagi
jika kulihat tubuh Liani yang montok dan dadanya yang naik turun menahan
nafas yang mulai terengah. Semakin lama remasan semakin erat. Tubuh
kami semakin merapat dan terasa tubuh gadis itu memanas. Entah oleh
nafsu entah oleh hasrat yang tertahan. Tidak, aku tidak akan
menyia-nyiakan kehangatan yang disuguhkan gadis ini, meski bukan
kekasihku, tapi… perselingkuhan selalu terasa nikmat.
Dia memang
beberapa tahun lebih tua dari gadisku, cenderung lebih dewasa, tapi tak
kusangka dia menyimpan kehangatan dan hasrat memadu cinta yang begitu
terpendam dan panasnya memancar di malam ini.
“Kak… di dipan itu aja, yuk.” Ajaknya.
Senyumannya dari wajahnya yang memerah kelihatan agak genit. Aku setuju, walau pun cuma dipan beralas kasur tipis jadilah. Yang penting aku bisa menikmati tubuhnya malam ini.
Maka, seperti orang kesetanan sambil berpeluk erat kami melangkah ke arah dipan. Di pinggir dipan ia melepaskan pelukanku, dan perlahan tapi pasti menurunkan gaun tidurnya.
“Kak… di dipan itu aja, yuk.” Ajaknya.
Senyumannya dari wajahnya yang memerah kelihatan agak genit. Aku setuju, walau pun cuma dipan beralas kasur tipis jadilah. Yang penting aku bisa menikmati tubuhnya malam ini.
Maka, seperti orang kesetanan sambil berpeluk erat kami melangkah ke arah dipan. Di pinggir dipan ia melepaskan pelukanku, dan perlahan tapi pasti menurunkan gaun tidurnya.
Aku
hanya bisa memandang mengagumi tubuhnya yang putih mulus dan penuh
padat berisi itu. Sementara menurunkan celana dalamnya ia memandangku
sembari menatap ke arah bawah. Oh, aku belum membuka celana panjangku,
terlalu mengagumi kemolekannya….
Tak lama kemudian kami sudah berpelukan hampir tanpa busana. Dia berada di bawah dalam posisi tradisional. Siap dan menanti untuk dimasuki oleh lelaki yang bukan kekasihnya ini.
Tak lama kemudian kami sudah berpelukan hampir tanpa busana. Dia berada di bawah dalam posisi tradisional. Siap dan menanti untuk dimasuki oleh lelaki yang bukan kekasihnya ini.
Kalau Cenit memerlukan fore play yang cukup lama sebelum terbangkitkan, dia barangkali tidak memerlukan itu. Atau…
“Kalau malam begini… aku selalu membayangkan bersamamu, Bang". Bisiknya di telinga, kedua tangan melingkar erat di leherku. Pipinya menempel erat dipipiku.
“Benarkah?” jawabku sambil mencium pipi hangat itu. Liani mengangguk.
“Kadang bayanganmu begitui jelas seolah merasuki tubuhku…. Kalau begitu aku suka… emmh.. basah, Bang.”
“Oh, ya?”
“Iya… coba kamu rasakan, Bang.” Katanya sambil menggerakkan pantatnya, menggesekkan tumpukan kemaluannya di batang penisku.
Ya, terasa hangat dan basan…
“Sebelum kamu datang, aku sudah membayangkan dirimu.. emhhmmm…"
tanpa sadar ‘dia’ pun … sudah basah… Aku mencium telinga Liani, dia seperti merinding., tubuhnya menggelinjang karena merinding kegelian.
“Kadang…” bisiknya lagi,
“Keluar banyak sekali, sampai membasahi celanaku… sekarang juga udah begitu, Bang.”
“Kalau malam begini… aku selalu membayangkan bersamamu, Bang". Bisiknya di telinga, kedua tangan melingkar erat di leherku. Pipinya menempel erat dipipiku.
“Benarkah?” jawabku sambil mencium pipi hangat itu. Liani mengangguk.
“Kadang bayanganmu begitui jelas seolah merasuki tubuhku…. Kalau begitu aku suka… emmh.. basah, Bang.”
“Oh, ya?”
“Iya… coba kamu rasakan, Bang.” Katanya sambil menggerakkan pantatnya, menggesekkan tumpukan kemaluannya di batang penisku.
Ya, terasa hangat dan basan…
“Sebelum kamu datang, aku sudah membayangkan dirimu.. emhhmmm…"
tanpa sadar ‘dia’ pun … sudah basah… Aku mencium telinga Liani, dia seperti merinding., tubuhnya menggelinjang karena merinding kegelian.
“Kadang…” bisiknya lagi,
“Keluar banyak sekali, sampai membasahi celanaku… sekarang juga udah begitu, Bang.”
Ya,
aku rasakan itu, sangat hangat dan sangat basah. Penasaran aku
menyelusupkan jemariku ke daerah itu. Ya ampun! Sepertinya aku
memasukkan tanganku ke seember lumpur yang hangat. Tak disangka, gadis
pendiam ini ternyata menyimpan bara begitu panas. Sebuah rahasia yang
selama ini dia pendam…
“Masukkan punyamu, Bang!” pintanya …
“Aku udah gak tahan lagi, sedari tadi aku menahan rasa terhadapmu… jangan sia-siakan malam ini… walau sebentar, aku akan puas….”
Gadis itu menggelinjang sekali lagi, membetulkan posisi berbaringnya dan membuka pahanya sedikit lebih lebar agar mudah aku menggelosorkan kemaluanku ke liang senggamanya yang hangat itu.
Terasa meluncur dengan lancar memasuki kemaluan gadis itu. Terus masuk dan membenam sambil ke celah yang paling dalam. Gadis itu mengetatkan pahanya dan pantatnya mulai bergoyang ke kiri da ke kanan.
Tubuhnya terasa semakin memanas. Pelukannya begitu erat dan buah dadanya yang menempel menekan ke dadaku. Dia sudah begitu bernafsu, nafsu yang di pendam lama dan ingin di lepaskan dalam pelukanku malam ini juga.
“Aku udah gak tahan lagi, sedari tadi aku menahan rasa terhadapmu… jangan sia-siakan malam ini… walau sebentar, aku akan puas….”
Gadis itu menggelinjang sekali lagi, membetulkan posisi berbaringnya dan membuka pahanya sedikit lebih lebar agar mudah aku menggelosorkan kemaluanku ke liang senggamanya yang hangat itu.
Terasa meluncur dengan lancar memasuki kemaluan gadis itu. Terus masuk dan membenam sambil ke celah yang paling dalam. Gadis itu mengetatkan pahanya dan pantatnya mulai bergoyang ke kiri da ke kanan.
Tubuhnya terasa semakin memanas. Pelukannya begitu erat dan buah dadanya yang menempel menekan ke dadaku. Dia sudah begitu bernafsu, nafsu yang di pendam lama dan ingin di lepaskan dalam pelukanku malam ini juga.
Terus terang
di menit-menit penuh cinta itu aku tidak ingat lagi dengan Cenit. Gadis
ini butuh dipuaskan. Hasrat yang sudah menyeruak tidak bisa lagi di
tarik surut ke dalam. Segala rem sudah di lepas dan kami pun melayang
tanpa kendali menikmati semuanya malam ini….
Kurasa hujan di luar
semakin deras. Titik air yang berjuta-juta itu seolah berlomba terjun ke
bumi menimbulkan suara gemuruh tidak henti-hentinya. Tapi gemuruh itu
tak sedahsyat gemuruh nafsu kami berdua, aku dan Liani yang tengah
menikmati cinta.
Entah sudah berapa kali batang kemaluanku keluar
masuk liang senggamanya. Sudah berapa kali pula dia menggepit-gepit dan
memelukku dengan erat dengan kedua tangannya. Entah berapa kali ia
terengah dan menggelinjang menggeram penuh nikmat.
“Hhhhhh…
ehhhhhhh..hhhhhh….” erangnya setiap kumainkan dan kutekan pantatku ke
kemaluannya. Luar biasa, setiap tekanan ke bawah di balasnya dengan
tekanan ke atas.
Kurasa sudah sepuluh menit aku mengayun pinggul di atas tubuhnya. Liang kemaluannya terasa semakin rapat dan sangat licin, mencengkram kuat batang kemaluanku yagn menegang.
Kurasa sudah sepuluh menit aku mengayun pinggul di atas tubuhnya. Liang kemaluannya terasa semakin rapat dan sangat licin, mencengkram kuat batang kemaluanku yagn menegang.
Aku kendurkan
sedikit gerakanku. Mengalihkan perhatian ke tubuh bagian atas. Liani
mengerti, ia meregangkan tubuhnya menarik kepalanya ke belakang,
membiarkan buah dada besar yang putih berkeringat itu meenyeruak dari
pelukanku. Buah dada gadis desa yang besar dan kenyal, tidak seperti
payudara anak-anak kota yang besar tapi loyo….
Dua gumpalan kenyal
itu pun kusergap dengan mulutku. Ku lahap dan kukunyah-kunyah sepuas
hati. Putting susunya yang merah itu ku kulum dan kuhisap-hisap sambil
kugigit sedikit.
Hanya sebentar saja, gadis itu menjerit tertahan….
“Ohhh.. geli, Bang!” aku terus mengulum…. Berganti ke kiri dan ke kanan, kemudian tanganku pun meremas-remas pangkal payudara Liani dengan gemas. Sangat kenyal, hangat dan enak rasanya.
“Aku udah gak tahan lagi… Bang,” rintihnya lirih, tubuhnya semakin panas dan berkeringat, tubuhku juga sama.
Dalam hawa malam yang cukup sejuk karena hujan itu seolah tubuh kami mengeluarkan uap. Tubuh bugil bermandi keringat yang mengebulkan asap nafsu birahi tak tertahankan.
Hanya sebentar saja, gadis itu menjerit tertahan….
“Ohhh.. geli, Bang!” aku terus mengulum…. Berganti ke kiri dan ke kanan, kemudian tanganku pun meremas-remas pangkal payudara Liani dengan gemas. Sangat kenyal, hangat dan enak rasanya.
“Aku udah gak tahan lagi… Bang,” rintihnya lirih, tubuhnya semakin panas dan berkeringat, tubuhku juga sama.
Dalam hawa malam yang cukup sejuk karena hujan itu seolah tubuh kami mengeluarkan uap. Tubuh bugil bermandi keringat yang mengebulkan asap nafsu birahi tak tertahankan.
Setelah puas dengan buah dada kenyal
itu, aku memeluk punggung gadis itu. Kurasa dia mengangkat lututnya,
menggepitnya di pantatku. Kemudian ia menurunkan kedua tangannya dan
memelukku di pinggang.
“Tekan-tekan lagi, Bang.” pintanya.
Aku juga sudah pingin merasakan gesekan kemaluannyai. Sambil saling berpagut erat aku mengayunkan lagi pantatku di atas rengakahan pahanya yang montok itu. Dia pun semakin menggepitk-gepitkan kakinya.
“Tekan-tekan lagi, Bang.” pintanya.
Aku juga sudah pingin merasakan gesekan kemaluannyai. Sambil saling berpagut erat aku mengayunkan lagi pantatku di atas rengakahan pahanya yang montok itu. Dia pun semakin menggepitk-gepitkan kakinya.
Sekarang
kami konsentrasi ke setiap gesekan, setiap lipatan, setiap senti dari
liang kemaluan Liani. Malam ini sunguh hanya milik kami berdua.
Gesekan-gesekan itu semakin lama semakin berirama. Sementara Liani
melakukan aksi yang menambah kenikmatan, ia menggepit… lalu menahan.
Gepit tahan gepit tahan…. Oh tak terlukiskan enaknya bercinta dengan
gadis ini.
Gesekan itu semakin intens kami lakukan. Sampai-sampai
kami tak sadar kalau hujan sudah berhenti. Malam di luar terasa hening….
Tapi di atas dipan yang berbunyi kriak-kriuk ini dua tubuh saling
memompa berpacu mengejar waktu. Takut kalau Cenit dan Rinay keburu
pulang.
Aku pun mempercepat ayunanku… sehingga di malam yang menjadi sunyi ini terdengar jelas suara penisku yang keluar masuk ke kemaluan Liani. Beradu rsa dalam limpahan cairan kemaluan Liani..
‘Crekk.. Crekk.. Crekkk. Crek…Crekkk.. Crrek….
Kejantananku naik turun menggesek lipatan-lipatan dinding kemaluan gadis itu. Bunyinya terdengar jelas sekali di telinga kami berdua. Sesekali kutekan akan kuat, gadis itu membiarkan dan menerima tekanan itu, menggeolkan pantatnya berkali-kali agar kelentitnya lebih tersentuh pangkal atas kemaluanku yang keras.
Aku pun mempercepat ayunanku… sehingga di malam yang menjadi sunyi ini terdengar jelas suara penisku yang keluar masuk ke kemaluan Liani. Beradu rsa dalam limpahan cairan kemaluan Liani..
‘Crekk.. Crekk.. Crekkk. Crek…Crekkk.. Crrek….
Kejantananku naik turun menggesek lipatan-lipatan dinding kemaluan gadis itu. Bunyinya terdengar jelas sekali di telinga kami berdua. Sesekali kutekan akan kuat, gadis itu membiarkan dan menerima tekanan itu, menggeolkan pantatnya berkali-kali agar kelentitnya lebih tersentuh pangkal atas kemaluanku yang keras.
“Tekan terus, Bang.. aihh…”
Aku menekan lagi sambil menggerakkan pantat ke kiri dan ke kanan. Mungkin dia merasa gatal dan ingin gatal itu digaRinay sampai tuntas…. PenggaRinaynya adalah batang kemaluanku yang dia cengkram dan dia benamkan sedalam-dalamnya.
“Ohhh..ohhhhhhhhh,” lolong gadis itu melepas nikmat.
Seluruh liang senggamanya berkedut-kedut dan sembari menggepit kuat. Tubuh Liani menggelinjang dan menegang menahan rasa enak ketika ia mengeluarkan air mani kewanitanya.
Aku menekan lagi sambil menggerakkan pantat ke kiri dan ke kanan. Mungkin dia merasa gatal dan ingin gatal itu digaRinay sampai tuntas…. PenggaRinaynya adalah batang kemaluanku yang dia cengkram dan dia benamkan sedalam-dalamnya.
“Ohhh..ohhhhhhhhh,” lolong gadis itu melepas nikmat.
Seluruh liang senggamanya berkedut-kedut dan sembari menggepit kuat. Tubuh Liani menggelinjang dan menegang menahan rasa enak ketika ia mengeluarkan air mani kewanitanya.
“Eughhh…hhhhh… euuughhhhh…..
ahhhhh… ” rintihnya sambil menyurupkan wajahnya ke leherku, lehernya
nafasnya menderu, air liur berceceran dari bibirnya yang merah.
Saat itulah aku pun bersiap hendak keluar dan menyemburkan kenikmatan di kemaluanku. Tapi sesuatu menyebabkan aku berhenti …Masih dalam keadaan bersetubuh dengan Liani… ada sekelebat bayangan melintas. Aku memandang dengan ujung mataku, di lantai tampak ada dua bayangan seperti diam terpaku. Aku pun terkejut … bayangan siapa itu?
Saat itulah aku pun bersiap hendak keluar dan menyemburkan kenikmatan di kemaluanku. Tapi sesuatu menyebabkan aku berhenti …Masih dalam keadaan bersetubuh dengan Liani… ada sekelebat bayangan melintas. Aku memandang dengan ujung mataku, di lantai tampak ada dua bayangan seperti diam terpaku. Aku pun terkejut … bayangan siapa itu?
Perlahan kulihat
wajah Liani yang matanya masih setengah terpejam. Kemudian matanya
perlahan terbuka… Dia pun melihat bayangan itu dan menatap langsung ke
ruang tengah. Samar-samar di bola matanya yang hitam itu kulihat dua
sosok berdiri menatap ke arah kami.
Itu bayangan Cenit dan Rinay! Rinayanya sudah beberapa menit tadi mereka berdiri di sana, menatap kami yang sedang asyik memagut cinta. Apakah mereka tadi mendengar juga.. bunyi crek…crekk.crekk.. alat kelamin kami yang sedang berkelindan? Entahlah, aku tak berani membayangkan hal itu.
Itu bayangan Cenit dan Rinay! Rinayanya sudah beberapa menit tadi mereka berdiri di sana, menatap kami yang sedang asyik memagut cinta. Apakah mereka tadi mendengar juga.. bunyi crek…crekk.crekk.. alat kelamin kami yang sedang berkelindan? Entahlah, aku tak berani membayangkan hal itu.
Anehnya, meski pun
Liani sudah tahu kehadiran mereka, dia diam saja. Tidak memberi tanda
bahwa kekasihku dan temannya sudah pulang. Bahkan seolah membiarkan
mereka menonton kami yang sedang beradegan mesra di atas ranjang.
Terdengar bunyi deheman kecil, dehem khas suara perempuan. Seolah memaklumi kami yang masih dalam posisi senggama ini. hmmm… aku tahu itu suara Cenit, aku bisa membedakannya.
Terdengar bunyi deheman kecil, dehem khas suara perempuan. Seolah memaklumi kami yang masih dalam posisi senggama ini. hmmm… aku tahu itu suara Cenit, aku bisa membedakannya.
Sedetik dua detik aku tak
tahu apa yang harus kuperbuat, kemudian Liani melakukan sersuatu yang
tidak kuduga. Dia seperti melambaikan tangan dari balik punggungku.
Menyuruh kedua ‘adik’ kostnya itu masuk ke kamar…
“Teruskanlah, Bang. Nggak apa-apa, kok….” Bisiknya di telingaku.
“Ngapain malu.. kita kan sedang enak, kamu enak aku enak…. Mereka juga pasti maklum….”
“Teruskanlah, Bang. Nggak apa-apa, kok….” Bisiknya di telingaku.
“Ngapain malu.. kita kan sedang enak, kamu enak aku enak…. Mereka juga pasti maklum….”
Oh,
ya? Bercinta dengan orang yang bukan pacar, dan dilihat oleh mereka
pula? Apa pula ini?Exibit kah ini? Ya, sudah! Aku gak sempat memikirkan
sejauh itu. Kalau bagi Liani tidak apa-apa, dan Cenit serta Rinay pun
justru menikmati pemandangan ini…. kuteruskan saja.
Perlahan dua
gadis itu berlalu, seperti tak terjadi apa-apa, kecuali tawa kecil Rinay
yang terdengar. Aku memandangi mereka yang pergi menjauh, tiba-tiba
Cenit menoleh ke belakang. Dia menatap mataku langsung, di bibirnya
tersungging senyuman yang aneh … di situasi seperti ini… senyum yang
tampak nakal.
Aku tak tahu apa akan terjadi sesudah ini, bagaimana
hubunganku dengan Cenit? Bagaimana pula aku akan menemui mereka setelah
‘permainan’ penuh keenakan ini? Tak bisa lagi aku berlagak seperti
seorang lelaki yang setia hanya pada satu perempuan. Tapi tampaknya
Cenit pun tak keberatan jika aku mengencani kakak kostnya Liani.
Ah.
Dunia ini memang aneh… di tempat yang tampaknya biasa-biasa saja
ternyata tersimpan bakat-bakat cinta yang terpendam yang menanti untuk
dikeluarkan dan dinikmati setiap lelaki semacam aku. Aku tak tahu harus
bergembira atau… entahlah!
Aku meneruskan permainanku dengan
Liani. Gadis itu sudah sampai ke puncak syahwatnya… kini giliran aku.
Perlahan-lahan aku mulai memompa lagi … kemaluanku naik turun menggesek
kemaluan Liani yang basah itu. Bunyi crek.. crek.. crek.. creeeek…
terdengar ke segenap ruangan.
Aku agak termangu mendengar suara itu… tidakkah akan sampai ke telinga mereka berdua yang sekarang sudah ada di kamarnya?
Aku agak termangu mendengar suara itu… tidakkah akan sampai ke telinga mereka berdua yang sekarang sudah ada di kamarnya?
“Terusin aja, Bang….. Kalo enak ngapain juga di berhentiin” bisik Liani seolah hendak menghapus keraguanku.
Maka aku pun meneruskan lagi, kali ini dengan irama yang lebih cepat dan… tak lama kemudian creett…cretttt… sambil menekan aku keluarkan air maniku di dalam kemaluan Liani yang mencengkram erat itu. Oh nikmatnya.
Maka aku pun meneruskan lagi, kali ini dengan irama yang lebih cepat dan… tak lama kemudian creett…cretttt… sambil menekan aku keluarkan air maniku di dalam kemaluan Liani yang mencengkram erat itu. Oh nikmatnya.
Beberapa
menit telah berlalu. Sesudah menghapus keringat di dadaku Liani
mengenakan pakaiannya. Kemudian sambil bernyanyi-nyanyi kecil ia
merapikan rambutnya yang kusut masai. Wajahnya tampak puas. Sangat puas
telah beroleh kenikmatan yang selama ini didambakannya. Seraya
membetulkan tali beha dan menyempalkan payudara besarlnya ia berkata.
“Bang, aku masuk dulu ke dalam…. Nanti Cenit kusuruh keluar, ya!”
Aku hanya mengangguk mengiyakan, gadis itu pun bangkit dan berlalu dari hadapanku. Sementara aku duduk termangu sambil menghisap sbatang rokok. Tak lama kemudian Cenit keluar menemuiku, kali ini tidak memakai busana yang dikenakannya tadi, tapi sudah berganti dengan gaun tidurnya yang berwarna pink. Bahannya yang halus menampakkan lekuk tubuhnya yang seksi. Aku menelan ludah… pasti dia bakal marah karena kelakuan kami tadi.
Aku hanya mengangguk mengiyakan, gadis itu pun bangkit dan berlalu dari hadapanku. Sementara aku duduk termangu sambil menghisap sbatang rokok. Tak lama kemudian Cenit keluar menemuiku, kali ini tidak memakai busana yang dikenakannya tadi, tapi sudah berganti dengan gaun tidurnya yang berwarna pink. Bahannya yang halus menampakkan lekuk tubuhnya yang seksi. Aku menelan ludah… pasti dia bakal marah karena kelakuan kami tadi.
Dia hanya tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya. Tak
tampak tanda-tanda emarahan di sana. sejenak dia hanya diam.. kemudian
tiba-tiba dia bangkit dan ‘menyerbu’ ke arahku.
Melingkarkan tangannya di leherku dan menciumiku penuh nafsu. Aneh, dia tidak marah, bahkan setelah melihat kami bercinta seolah nafsunya bergelora ingin dipuaskan juga.
“Cenit… maafkan.. aku telah…” belum sempat kuselesaikan kalimatku dengan bernafsu dia mencari bibirku dan menciuminya dengan garang.
Oh,… gelagapan aku dibuatnya. Aku tidak tahu, apakah dia marah atau sudah terangsang…. Aku balas ciuman itu, lidahnya terjulur dan bertemu dengan lidahku. Beberapa saat lamanya lidah kami berjalin berkelindan seperti tak mau lepas. Dengan rakus pula dia hirup air liurku, meneguk dan menelannya. Setelah puas giliran aku yang menghisap cairan mulut itu. Setelah itu kami melepas ciuman dan saling memandang selama beberapa saat.
Melingkarkan tangannya di leherku dan menciumiku penuh nafsu. Aneh, dia tidak marah, bahkan setelah melihat kami bercinta seolah nafsunya bergelora ingin dipuaskan juga.
“Cenit… maafkan.. aku telah…” belum sempat kuselesaikan kalimatku dengan bernafsu dia mencari bibirku dan menciuminya dengan garang.
Oh,… gelagapan aku dibuatnya. Aku tidak tahu, apakah dia marah atau sudah terangsang…. Aku balas ciuman itu, lidahnya terjulur dan bertemu dengan lidahku. Beberapa saat lamanya lidah kami berjalin berkelindan seperti tak mau lepas. Dengan rakus pula dia hirup air liurku, meneguk dan menelannya. Setelah puas giliran aku yang menghisap cairan mulut itu. Setelah itu kami melepas ciuman dan saling memandang selama beberapa saat.
Tanpa banyak berkata-kata
dia menurunkan gaunnya ke bawah, menampakkan dua gumpal buah dada yang
tidak memakai beha. Putting susunya meruncing dan tegang.
“Aku terangsang sekali melihat kalian berdua tadi…. ” katanya terengah sambil mengasongkan kedua susunya ke arahku.
Aku pun menyambut, tangan kiriku meremas dan mulutku mengulum puting susu yang satunya. Tiba-tiba gerakankuterhenti. Dengan wajah kaget Cenit menatapku heran. Aku lupa mematikan puntung rokok yang ku hisap tadi. Gadis itu tersenyum dan kamipun melanjutkan permainan hangat ini. Buah dada besar montok dan kenyal itu kukunyah sepuas hati.
“Aku terangsang sekali melihat kalian berdua tadi…. ” katanya terengah sambil mengasongkan kedua susunya ke arahku.
Aku pun menyambut, tangan kiriku meremas dan mulutku mengulum puting susu yang satunya. Tiba-tiba gerakankuterhenti. Dengan wajah kaget Cenit menatapku heran. Aku lupa mematikan puntung rokok yang ku hisap tadi. Gadis itu tersenyum dan kamipun melanjutkan permainan hangat ini. Buah dada besar montok dan kenyal itu kukunyah sepuas hati.
Cenit
mendesah keenakan. Jemarinya mencengkram kepalaku, mengusutkan rambutku.
Masih dalam posisi duduk ia mengangkang .. melepas gaunnya yang sudah
setengah terbuka…. Dia pun tidak bercelana dalam sehingga gundukan
vaginanya yang tebal dan tidak berambut itu merekah di depanku.
Cairan
bening meluap keluar. Mengalir di sela-sela celah kemaluannya. Di tak
pedulikannya. Dibiarkan lendir bening itu mengalir…. Bahkan dia
menyuruhku untuk memegangnya… jemariku menyelusup ke liang senggama
Cenit, hangat dan sangat basah oleh cairan pelicin.
Kusentuh klentitnya yang merah dengan ujung jemariku.
“Akhh….” Cenit melolong tertahan.
“Geli, Kak!” desahnya tersentak.
Kemudian sembari memeluk leherku, dan mencium keningku dia mengajakku ke dipan tempat aku dan Liani tadi bercinta.
“Akhh….” Cenit melolong tertahan.
“Geli, Kak!” desahnya tersentak.
Kemudian sembari memeluk leherku, dan mencium keningku dia mengajakku ke dipan tempat aku dan Liani tadi bercinta.
Tak
banyak cingcong kurengkuh dan kugendong tubuh hangatnya ke dipan itu.
Di sana dia kubaringkan. Tapi ketika aku hendak membuka celana,
tiba-tiba ia mendudukkan tubuhnya yang sudah bugil itu. Aku heran, apa
yang akan dia perbuat.
“Bukalah celanamu, Kak!” katanya tak sabar sembari menarik resleting celana panjangku.
Setela memelorotkan celana dalamku, dengan sangat bernafsu ia memegangi pangkal kemaluanku yang kembali menegang.
“Besar dan nikmat….” Seru Cenit sambil meremas-remas kemaluanku.
“Sekarang giliranku…” katanya agak keras.
Setela memelorotkan celana dalamku, dengan sangat bernafsu ia memegangi pangkal kemaluanku yang kembali menegang.
“Besar dan nikmat….” Seru Cenit sambil meremas-remas kemaluanku.
“Sekarang giliranku…” katanya agak keras.
Ia
turun dari dipan dan berdiri di sampingku, di dorongnya dadaku ke arah
dipan, menyuruhku berbaring disana. Aku menurut. Setelah aku berbaring,
Cenit pun menaikkan sebelah kakinya dan mengangkang di atas. Perlahan
dia menekuk tubuhnya dan memelukku dari atas.
“Masukkan, Kak.” Pintanya dengan nada gemas.
Ia memegang batang kelaminku itu dan memasukkannya ke dalam liang kemaluannya. Kemudian dengan agak kasar dia menghenyakkan pantatnya ke bawah agar kemaluanku masuk lebih dalam ke tubuhnya.
Ia memegang batang kelaminku itu dan memasukkannya ke dalam liang kemaluannya. Kemudian dengan agak kasar dia menghenyakkan pantatnya ke bawah agar kemaluanku masuk lebih dalam ke tubuhnya.
“Ehhhhh…. Hhhhh” desahnya kacau seperti anak kecil yang rakus menetek di susu ibunya.
Dalam posisi di atas dia menaik turunkan pantatnya dengan cepat… oh… batang kemaluanku di cengkram dan di gesek-gesek seperti itu. Geli rasanya.
Posisi di bawah jarang aku lakukan…. Tapi kali ini aku menerima saja, karena tadi sudah lumayan capek meladeni Liani. Kali ini Cenit yang giat menekan-nekankan pantatnya, maksudnya supaya punyaku masuk lebih dalam.
Sembari memelukku erat, ia terus mengempot-ngempotkan pantatnya. Bunyi crek crek crek terdengar lagi… kali ini bahkan di tingkahi oleh jeritan-jeritan kecil yang keluar dari mulut kekasihku.
Dalam posisi di atas dia menaik turunkan pantatnya dengan cepat… oh… batang kemaluanku di cengkram dan di gesek-gesek seperti itu. Geli rasanya.
Posisi di bawah jarang aku lakukan…. Tapi kali ini aku menerima saja, karena tadi sudah lumayan capek meladeni Liani. Kali ini Cenit yang giat menekan-nekankan pantatnya, maksudnya supaya punyaku masuk lebih dalam.
Sembari memelukku erat, ia terus mengempot-ngempotkan pantatnya. Bunyi crek crek crek terdengar lagi… kali ini bahkan di tingkahi oleh jeritan-jeritan kecil yang keluar dari mulut kekasihku.
Aku terus berbaring sembari meremas-remas
pantatnya yang mulai berpeluh itu. Cairan vagina terasa terus merembes
dari kemaluan Cenit. Dia sudah sangat terangsang. Liang kemaluannya
sangat basah dan panas. Sesekali ia menekan dan menahan. Seolah hendak
melumat habis seluruh kemaluanku dengan vaginanya. Terang saja aku pun
semakin keenakan.
Diam beberapa saat menahan tekanan, dia pun
mengendurkan dan memulai lagi gerakan naik turunnya. Aku terus
meremas-remas pantatnya. Dadanya yang kenyal itu menekan ke arah dadaku,
hampir membuatku sesak nafas. Tapi aku pasrah.. lha wong enak rasanya.
Selama
sepuluh menit Cenit bergerak naik turun, nggak cape-cape kelihatannya.
Tubuhnya semakin basah oleh keringat, bahkan wajahnya sudah dipenuhi
keringat sebesar-besar biji jagung. Sebagian mengalir ke ujung hidung
dan menitik menimpa wajahku. Sesekali ia mengibaskan rambutnya yang
tergerai..
Aku mencoba memiringkan kepala mencoba mengurangi
titikan keringat di wajahku. Pada saat itulah kembali aku terkesiap. Di
ujung ruangan, di pintu kamar Cenit, tegak sesosok tubuh perempuan
menatap kami dengan matanya yang bulat.
Mata besar milik Rinay,
teman sekost Cenit. Dia menatap kami tanpa berkedip. Tangan kanannya
tertangkup di dada. Sementara yang kiri tampak meremas-remas ujung gaun
tidurnya yang di atas lutut.
Ketika kami saling memandang… dalam posisi Cenit masih di atas dan asyik dengan empotan-empotannya. Perlahan tangan kiri Rinay mengangkat ujung gaun merahnya. Terus terangkat ke atas menampakkan paha gadisnya yang padat…
Ketika kami saling memandang… dalam posisi Cenit masih di atas dan asyik dengan empotan-empotannya. Perlahan tangan kiri Rinay mengangkat ujung gaun merahnya. Terus terangkat ke atas menampakkan paha gadisnya yang padat…
Entah sadar entah tidak
gaun itu sudah sedemikian terangkat, sehingga aku bisa melihat celana
dalam yang tersingkap. Kemudian ia menarik pinggir celana dalam itu…
menampakkan segumpal tumpukan daging berbulu dengan celah merah di
tengahnya.
Ujung jemari menyentuh bagian tengah celah itu. Menekannya dan memutar-mutarnya sedikit. Ya ampun… kemudian dia menatapku.. dengan mata setengah terpejam.
Saat itulah Cenit menengadah…. Dan menyurukkan kepalanya ke leherku, memelukku kuat dan mulai mendesah berkepanjangan. Pantatnya menekan kuat sampai seolah kemaluanku mau ditelannya sampai habis.
Ujung jemari menyentuh bagian tengah celah itu. Menekannya dan memutar-mutarnya sedikit. Ya ampun… kemudian dia menatapku.. dengan mata setengah terpejam.
Saat itulah Cenit menengadah…. Dan menyurukkan kepalanya ke leherku, memelukku kuat dan mulai mendesah berkepanjangan. Pantatnya menekan kuat sampai seolah kemaluanku mau ditelannya sampai habis.
“Kak.. enak sekali.. ahh”
terasa kemaluan Cenit berdenyut hebat, tubuhnya bergetar tak kuasa
menahan nikmat… nafasnya sangat memburu… dan.. Dia pun lunglai dalam
pelukanku….
Sementara air mani gadis itu mengalir tak tertahankan, meluap dan mengalir membasahi sampai bagian perutku.. aku peluk gadis itu di punggungnya… membiarkan ia mengendurkan syaraf setelah ia tadi sangat tegang menikmati puncak orgasmenya.
Sementara air mani gadis itu mengalir tak tertahankan, meluap dan mengalir membasahi sampai bagian perutku.. aku peluk gadis itu di punggungnya… membiarkan ia mengendurkan syaraf setelah ia tadi sangat tegang menikmati puncak orgasmenya.
***
Sampai
beberapa menit kami masih berpelukan, kejantananku yang masih tegang itu
masih berada di dalam ’sangkar’-nya. Cenit diam tak bergerak dalam
pelukanku, sepertinya dia lupa ada sesuatu yang bersemayam dalam
tubuhnya.
Perlahan gadisku ini mengatur nafasnya yang tidak
teratur. Setelah agak reda… perlahan dia bangkit dan melepas
persetubuhan kami. Lambat ia mengangkat pantatnya ke atas. Perlahan alat
kelaminku itu keluar dari vagina Cenit. Ketika sudah keluar
seluruhnya…. Cairan vagina yang kental nampak melumuri batang
kemaluanku. Ketika bagian ‘kepala’-nya akan keluar terdengar seperti
bunyi plastik lengket yang basah akan di lepas..
Clep..crrrllek.
Cenit tersenyum mendengar suara itu. Entah suara lipatan kemaluannya
atau karena lendir yang begitu banyak melumuri batang kemaluanku.
Ia pergi ke tengah ruangan dan memakai gaunnya kembali, rona wajahnya menampakkan kepuasan yang tiada terkira. Sambil bernyanyi kecil, seperti baru sudah pipis, ia memebenahi rambutnya yang kusut masai. Dan berjalan ke belakang rumah, meninggalkanku yang hendak mengenakan celana dalam ku.
Ia pergi ke tengah ruangan dan memakai gaunnya kembali, rona wajahnya menampakkan kepuasan yang tiada terkira. Sambil bernyanyi kecil, seperti baru sudah pipis, ia memebenahi rambutnya yang kusut masai. Dan berjalan ke belakang rumah, meninggalkanku yang hendak mengenakan celana dalam ku.
Belum sempat aku memakai celana itu, tiba-tiba Cenit
sudah kembali. Membawa sehelai kain sarung dan menyuruhku mengenakannya.
“Pakai ini aja, Kak!” katanya seraya mengambil celana panjang dan
kolorku, melipatnya dan merengkuhnya dalam dada. Kemudian ia pun kembali
ke belakang.
Tak lama kemudian ia datang lagi, membawaku segelas
minuman, kalau tadi Liani membawakanku segelas air putih, kali ini Cenit
menyuguhiku dengan teh manis. Aku segera mereguknya karena merasa
kehausan, bayangkan saja melayani dua wanita secara bergilir tanpa
istarahat sama sekali. Capek donk!
Ketika aku meminumnya, alis
mataku terangkat, minuman apa ini? Rasanya kok pahit banget? Sebelum
sempat bertanya Cenit berkata perlahan,
“Itu sari dari akar Pasak Jagad Kak!”
“Haa?
“Itu sari dari akar Pasak Jagad Kak!”
“Haa?
Kekasihku
tersenyum, itu kan obat kuatnya lelaki, kalau minum jamu itu pasti
bakal melek semaleman, kataku sesudah menelan tegukan terakhir. Gadis
itu hanya tertawa kecil. ‘Biar aja nggak tidur semaleman… besok kamu kan
nggak kerja, tidur aja sepuasnya di sini.
Setengah jam kemudian
kami masih ngobrol di ruang tamu. Masih terbayang-bayang permainan kami
berdua barusan. Tak disangka begitu bernafsunya Cenit, sampai-sampai
kuat main di atas hampir setengah jam lamanya, sementara aku anteng aja
di bawah.
Tiba-tiba Cenit bangkit…
”Kak,” katanya,
“Aku ke dalam sebentar.” Aku mengiyakan saja, kupikir dia mungkin mau sedikit merapikan dandanannya yang agak amburadul itu.
Aku akan menghela nafas ketika terdengar dia memanggilku dari kamar.
“Sini sebentar, Kak!”
”Kak,” katanya,
“Aku ke dalam sebentar.” Aku mengiyakan saja, kupikir dia mungkin mau sedikit merapikan dandanannya yang agak amburadul itu.
Aku akan menghela nafas ketika terdengar dia memanggilku dari kamar.
“Sini sebentar, Kak!”
Aku
pun bangkit dan berjalan menuju ke kamarnya, sebelum tiba di pintu
kamarnya aku melewati kamar Liani yang hanya dihalangi secarik kain
gorden, diam-diam ku singkap tirai kamar itu. Tampak Liani tertidur
pulas, masih mengenakan gaun yang tadi, pahanya yang terbuka nampak
putih dan mulus.
Kamar berikutnya adalah kamar Rinay, hmmm…
jantungku berdegup agak kencang. Apa yang dilakukannya tadi ketika aku
dan Cenit sedang menikmati seks? Entahlah, aku tak tahu. Tapi aku pengen
tahu sedang apa dia sekarang?
Perlahan kusingkapkan juga tirai
pintu kamarnya itu. Kasur tempat tidurnya masih tampak rapi, bantal
tersusun di tempatnya. Ke mana cewek itu? Kok nggak ada di biliknya?
Sedikit heran aku terus melangkah menuju kamar Cenit.
“Masuklah, Kak! Jangan malu-malu, aku tahu kamu sudah berada di situ.” Kata Cenit lagi, bergegas aku pun masuk ke kamarnya…
“Masuklah, Kak! Jangan malu-malu, aku tahu kamu sudah berada di situ.” Kata Cenit lagi, bergegas aku pun masuk ke kamarnya…
Oh
di sini rupanya Rinay, dia sedang tidur telungkup di dipan Cenit,
sementara cewek ku itu sedang menyisir rambutrnya menghadap ke cermin.
Tanpa mengacuhkan aku dia pun menyuruhku duduk di dipan dengan gerakan
tangannya.
Dipan ukuran single itu lumayan sempit, apalagi
sekarang sudah ada Rinay yang tidur di sana. Cenit berbalik menghadapku,
ditatapnya aku dengan tajam. Kemudian perlahan dia mengalihkan
pandangannya ke tubuh temannya yang masih telungkup itu.
“Terserah kamu, Kak. Mau di sini atau di kamarnya…. Aku ikhlas aja, yang penting…. Dia bisa juga ikut merasakan ….” A
ku melongo? Dia suruh aku menikmati pula tubuh Rinay!? Tubuh perempuan sintal yang sedang tertelungkup ini? Cenit mengangguk pasti.
“Kami lihat apa yang kalian lakukan, Rinay pun lihat kita tadi… kami bertiga bersahabat, resminya kamu memang milik aku… tapi.. berbagi antar sahabat tak ada salahnya, bukan? Lagi pula aku rela kok, selama tidak dengan yang lain selain mereka.”
ku melongo? Dia suruh aku menikmati pula tubuh Rinay!? Tubuh perempuan sintal yang sedang tertelungkup ini? Cenit mengangguk pasti.
“Kami lihat apa yang kalian lakukan, Rinay pun lihat kita tadi… kami bertiga bersahabat, resminya kamu memang milik aku… tapi.. berbagi antar sahabat tak ada salahnya, bukan? Lagi pula aku rela kok, selama tidak dengan yang lain selain mereka.”
Dalam hati aku cuma bisa mengangkat
bahu. Kalau dia sudah mengikhlaskan temannya, dia tidak marah apalagi
jadi membenci aku, lagi pula kalau dengan begitu dia jadi terangsang dan
menikmati juga, apa salahnya.
Aku berpikir cepat, katakanlah malam ini adalah semacam sex party, dan aku menjadi rajanya sementara menjadi ratuku yang harus kupuaskan, oke saja sih. Hehehe. Kebetulan aku ingin mencobai juga tubuh Rinay yang berkulit sawo terang ini.
“Aku menunggu di kamarnya,” kataku kepada Cenit, cewek itu mengangguk setuju.
Aku berpikir cepat, katakanlah malam ini adalah semacam sex party, dan aku menjadi rajanya sementara menjadi ratuku yang harus kupuaskan, oke saja sih. Hehehe. Kebetulan aku ingin mencobai juga tubuh Rinay yang berkulit sawo terang ini.
“Aku menunggu di kamarnya,” kataku kepada Cenit, cewek itu mengangguk setuju.
Dipan
singel Rinay terasa cukup nyaman. Bantalan busanya masih cukup baru,
dia memang belum lama kost di rumah ini, mungkin baru setengah tahun.
Aku berbaring dengan rileks. Memandangi dinding kamar yang dipenuhi
poster Cenit sambil memikirkan apa yang telah kudapat malam ini.
Mula-mula
Liani menyerahkan dirinya kepadaku, kemudian Cenit yang memintaku untuk
memuaskannya, dan sekarang Rinay, gadis paling pendiam yang jarang
ngobrol denganku. Gadis ini pun menginginkan ku pula… hehehe.. dasar
gede milik, yeuh
Semilir halus wangi parfum masuk ke
hidungku.Terdengar pintu kamar terbuka, perlahan Rinay masuk ke kamar
itu. Seperti orang baru bangun tidur. Ia langsung duduk di dipan itu,
“Ada apa, Kak?” tanyanya seolah tak mengerti.
Aku tersenyum, pandai juga dia menyembunyikan perasaan sebenarnya.
“Eh, kain sarung siapa yang kamu pakai itu, Kak?”
“Hehe.. ini pemberian Cenit tadi..”
“Ada apa, Kak?” tanyanya seolah tak mengerti.
Aku tersenyum, pandai juga dia menyembunyikan perasaan sebenarnya.
“Eh, kain sarung siapa yang kamu pakai itu, Kak?”
“Hehe.. ini pemberian Cenit tadi..”
Kedua
bola mata gadis itu membulat… menatapku seolah tak percaya. Terus
terang saja, dia cantik juga. Rambutnya yang ikal itu dibiarkannya
tumbuh sampai sebatas punggung. Meski baru bangun ‘tidur’ tapi tak
mengurangi kesegaran dan pesona cantik yang terpancar di wajahnya.
Aku
menarik gadis itu ke pelukanku, tubuhnya terasa berat karena ia seperti
menolak, tapi kemudian malah dia yang merangsek dalam dekapanku.
“Jangan , Kak! Nanti Cenit marah..” katanya berbasa-basi.
“Dia marah kalau aku tidak menayangimu juga….”
“Kamu bisa aja, Kak!” katanya sambil menengadah dan menyentuh pipiku.
Aku mengecup bibirnya, dia sangat menikati kecupan kecil itu, matanya terpejam, tubuhnya melunglai, dan aku pun memeluk tubuh sintal itu lebih erat.
“Jangan , Kak! Nanti Cenit marah..” katanya berbasa-basi.
“Dia marah kalau aku tidak menayangimu juga….”
“Kamu bisa aja, Kak!” katanya sambil menengadah dan menyentuh pipiku.
Aku mengecup bibirnya, dia sangat menikati kecupan kecil itu, matanya terpejam, tubuhnya melunglai, dan aku pun memeluk tubuh sintal itu lebih erat.
Ia membalas pelukanku dan membiarkan bibirnya kulumat…
beberapa kali ia mengeluh nikmat. Terasa tubuhnya bergetar ketika aku
mulai merengkuhnya. Kemudian aku pun mulai menyusuri seluruh lekuk dan
liku tubuh gadis itu. Semakin lama tubuh itu terasa panas, setiap
gumpalan dan tonjolan dagingnya terasa begitu membara dipenuhi gairah
terpendam.
Aku membaringkan tubuhnya sementara kedua tangannya
terus melingkar di leherku. Nafasnya terdengar agak memburu, gadis ini
sudah mulai terangsang. Kuperiksa bagian kemaluannya dengan jemariku.
Ternyata belum cukup basah, masih terasa agak kering. Kucumbu dia terus
supaya gairahnya lebih menggelora….
Entah berapa lama kami saling
mencium saling menyusup dan berkelindan, aku pulang suka buah dadanya.
Sangat kenyal, besarnya pun sedang saja, tapi putting susunya sangat
kecil, hanya sebesar biji kacang hijau. Tampak sekali putting itu sudah
mengeras.
Ketika kuremas-remas buah dadanya, wajah gadis itu
menengadah, matanya terpejam rapat, bibir agak terbuka. Setiap remasan
adalah rangsangan bagi tubuh segar ini. Semakin intensif aku meremas,
semakin intens juga dia menikmatinya. Ketika kuraba kemaluannya, lendir
pelicin yang kental sudah mulai keluar.
Perlahan aku mengusap-usap
jembut halus yang tumbuh di sana. Sesekali agak kutekan agar menyentuh
bagian klentitnya. Tuibuhnya menggelinjang karena geli.
Perlahan
tapi pasti cairan pelicin itu mulai keluar, merembes ke permukaan dan
mengakibatkan jembut-jembut halus itu terasa mulai kuyup. Hmmm.. Rinay
sudah siap untuk dimasuki. Sambil memegang pangkal kemaluanku aku pun
memasukkannya. Terasa licin dan rapat. Batang kemaluanku seperti
menembus lipatan daging hangat yang basah oleh lendir.
Creep….
Masuklah aku ke tubuh Rinay. Gadis itu melepas nafas panjang, merasakan
nikmatnya gesekan di kemaluannya. Entah kenapa aku sangat-sangat
terangsang dengan gadis ini, mungkin ini bukan yang pertama baginya,
tapi… dia melakukannya seperti baru untuk pertama.
Sepuluh menit
pertama kami mengadu rasa, menggesek-gesekkannya dengan gerakan rutin.
Sementara Rinay pasrah saja sambil memelukku dan membenamkan wajahnya di
leherku. Nafasnya semakin lama semakin memburu, tubuhnya semakin panas.
Titik-titik keringat mulai keluar dan lama-lama peluhnya semakin
membanjir.
Kota kecil ini memang lumayan panas meski di malam
hari, apalagi rumah kost itu tidak berAC, tubuhku pun kembali
berkeringat. Tapi kami tak peduli, kami terus berpelukan menikmati
pergumulan itu.
Kami masih bergumul ketika akhirnya memasuki tahap
kedua. Kukeluar-masukkan penisku secara berirama di liang kemaluannya
yang pasrah itu. Gadis itu memelukku lebih kuat. Tak peduli dengan tubuh
yang bersimbah peluh.
‘Crekecrekecrek…’. Sepuluh menit lamanya
aku menggesek-gesek kemaluan Rinay dengan kemaluanku. Terasa punyaku
semakin menegang keras. Kemudian aku menekan… Rinay membalas dengan
mengempot ke atas. Menggerakkan pinggulnya berputar-putar, ganas sekali
putarannya. Aku naik turunkan lagi pantatku beberapa kali, kemudian
kutekan dalam-dalam….
“Ahhh…,” gadis itu mendesah nikmat.
Kemudian membalas lagi dengan tekanan ke atas, sambil menggoyang pantatnya ke kiri dan kekanan. Lipatan kemaluannya yang hangat terasa semakin kenyal dan licin.
Beberapa kali kami melakukan itu, aku pun jadi tak tahan. Tapi dia belum mencapai puncak. Aku akan membuat dia duluan merasakan kenikmatan.
Kemudian membalas lagi dengan tekanan ke atas, sambil menggoyang pantatnya ke kiri dan kekanan. Lipatan kemaluannya yang hangat terasa semakin kenyal dan licin.
Beberapa kali kami melakukan itu, aku pun jadi tak tahan. Tapi dia belum mencapai puncak. Aku akan membuat dia duluan merasakan kenikmatan.
Aku pun semakin aktif mengocok dan
menekan memek Rinay. Tulang kemaluan kami beradu, bibir kemaluanya yang
tebal menahan tekanan itu dengan nafsu, terasa hangat dan sangat basah
karena lendir mani Rinay sudah melimpah sedari tadi.
Dua menit kemudian gadis itu melolong merasakan vaginanya berdenyut nikmat..
“Ooohhhhh….”
Aku membantunya dengan menekan semakin dalam. Rinay pun membenamkan tubuhnya ke kasur, menahan tindihanku sambil melepas nikmat, seiring dengan mengalirnya air mani prempuan itu dengan lebih deras. Merembes dari lipatan-lipatan kemaluannya.
“Enak sekali, Kak…eigh oh…!”
“Ooohhhhh….”
Aku membantunya dengan menekan semakin dalam. Rinay pun membenamkan tubuhnya ke kasur, menahan tindihanku sambil melepas nikmat, seiring dengan mengalirnya air mani prempuan itu dengan lebih deras. Merembes dari lipatan-lipatan kemaluannya.
“Enak sekali, Kak…eigh oh…!”
Berbarengan
dengan itu akan pun mencapai puncak. Kemaluanku terasa berkedut seiring
dengan menyemburnya air maniku di liang senggama gadis itu. Sementara
liang senggama Rinay pun menggepit-gepit tak terkendali karena tak kuasa
menahan nikmat yang luar biasa.
Kami masih berpelukan ketika rasa nikmat itu tercapai sudah. Gadis itu diam dalam pelukanku, tubuhnya sangat basah oleh peluh. Hawa panas pun terasa menyergap. Berangsur kami saling melepas pelukan.
Kami masih berpelukan ketika rasa nikmat itu tercapai sudah. Gadis itu diam dalam pelukanku, tubuhnya sangat basah oleh peluh. Hawa panas pun terasa menyergap. Berangsur kami saling melepas pelukan.
Perlahan gadis bangkit itu duduk dari
posisinya. Gurat-gurat kepuasan terpancar di wajahnya yang cantik.
Sekilas ku lihat memek Rinay yang masih merah dan bibirnya tampak
membengkak, cairan-cairan lendir masih menetes dari sela kemaluannya.
“Enak, Rinay?” gadis itu mengangguk.
Kemudian ia mengusap keringat yang menitik di dadaku.
“Dadamu penuh dengan peluh, Kak. Sini kuusap,” katanya sambil mengelus lembut dadaku yang memang penuh dengan keringat.
Kemudian ia mengusap keringat yang menitik di dadaku.
“Dadamu penuh dengan peluh, Kak. Sini kuusap,” katanya sambil mengelus lembut dadaku yang memang penuh dengan keringat.
Beberapa
saat lamanya kami kemudian berbaring bersama di kasurnya yang sempit
itu. Rambutnya yang ikal dan panjang itu kubelai. Ia bergerak,
menyusupkan tangannya di leherku, kemudian memintaku terlentang, dia
ingin tidur di dadaku, katanya. Beberapa saat kemudian Rinay pun jatuh
tertidur, tak menyadari air liurnya yang menitik dari sudut bibir. Aku
pun segera terbang ke alam mimpi.
Entah jam berapa kami terbangun.
Ketika itu aku dan Rinay masih berpelukan, sementara di luar terdengar
suara-suara seperti sedang bernyanyi. Oh, ternyata hari sudah siang. Itu
adalah suara Cenit yang sedang bernyanyi kecil, sementara di kejauhan
terdengar suara orang sedang mandi, barangkali Liani sedang membersihkan
tubuhnya.
Rinay pun sudah mulai terjaga, ia masih memelukku, buah
dadanya yang kenyal itu menempel erat di dadaku. Dari ruang tengah
terdengar Cenit sepertinya sedang menyapu lantai. Sementara dari
bibirnya terdengar nyanyian yang sekarang sedang populer.
Tiba-tiba
terdengar suara pintu dibuka, kemudian gorden disingkapkan, dan
masuklah Cenit ke dalam kamar, menatap kami yang masih bugil hanya
berselimut kain sarung.
“Hei, bangun! Belum puas juga ya!”
Aku pura-pura tidur sambil memeluk Rinay lebih erat. Gadis itu terkikik… tapi dia juga pura-pura meneruskan tidurnya. Cenit berlagak marah dan menarik kain sarung penutup tubuh kami.
“Apa mau diteruskan lagi tidurnya? Udah siang tauu,”
“Hei, bangun! Belum puas juga ya!”
Aku pura-pura tidur sambil memeluk Rinay lebih erat. Gadis itu terkikik… tapi dia juga pura-pura meneruskan tidurnya. Cenit berlagak marah dan menarik kain sarung penutup tubuh kami.
“Apa mau diteruskan lagi tidurnya? Udah siang tauu,”
Aku
menarik kain sarung itu, malu karena kemaluanku sedang menegang setelah
beristirahat total beberapa jam. Tapi kalah cepat, Cenit sudah
menangkap batang kemaluanku dan mengusap-usap dengan jemarinya.
“Oh, jauh lebih besar dari gagang sapu ini… pantesan enak sekali.” Guraunya sambil tergelak sendiri.
“Ya udah, kalau kamu pengen lagi, Rinay. Tuh mumpung lagi berdiri…”
“Oh, jauh lebih besar dari gagang sapu ini… pantesan enak sekali.” Guraunya sambil tergelak sendiri.
“Ya udah, kalau kamu pengen lagi, Rinay. Tuh mumpung lagi berdiri…”
Hampir
tak kuat aku menahan tawa dengan canda Cenit, tapi tampaknya Rinay
menanggapinya dengan serius, dia menggerakkan pantatnya, memelukku dari
atas dan mengempot ke bawah. Bibir kemaluannya terasa menempel di batang
kemaluanku.
“Tuuh, kan! Pasti mau lagi deh! Terusin aja, Rinay.
Enak kok!” sergah Cenit sambil memegangi pinggang gadis itu, menolongnya
mengangkat panta, aku pun memegang pangkal kemaluanku, menghadapkannya
ke memek Rinay yang hangat.
“Udah pas belum?” tanya Cenit, Rinay mengangguk, perlahan Rinay menurunkan pantatnya, maka…. Srrluuuup.. batang kemaluanku masuk lagi ke memek Rinay.
“Main dari atas enak, lho Rinay! Tekan aja biar lebih kerasa…” bisik Cenit agak keras.
“Udah pas belum?” tanya Cenit, Rinay mengangguk, perlahan Rinay menurunkan pantatnya, maka…. Srrluuuup.. batang kemaluanku masuk lagi ke memek Rinay.
“Main dari atas enak, lho Rinay! Tekan aja biar lebih kerasa…” bisik Cenit agak keras.
Seperti
tak peduli kehadiran Cenit di kamar ini, kami mengulangi permainan
semalam, tapi kali ini Posisi Rinay ada di atas. Kusuruh gadis itu
menegakkan tubuhnya. Ia menurut dan mendorong tubuhnya dengan meletakkan
telapak tangannya di dadaku.
Sekarang posisinya berubah, aku
berbaring sementara Rinay duduk mengangkang di atasku. Alat kelamin kami
telah menyatu, ketika ia sudah duduk dengan benar, nampak memeknya
seperti sedang mengulum kemaluanku sampai ke pangkalnya. Kelentitnya
nampak menonjol dan cairan itu kembali mengalir membasahi jembut-jembut
halusnya.
Kami saling pandang sementara masih bersatu, bibir Rinay
tersenyum, beberapa kali ia menyibakkan rambutnya yang kusut. Perlahan
dia mulai mengayun, gerakanya seperti orang sedang naik kuda. Naik turun
berirama.
Semenit aku lupa dengan kehadiran Cenit di sana.
ternyata ia berdiri di belakang Rinay, memperhatikan kami yang sedang
bercinta dengan gaya seperti itu. Gadis itu menyeringai lebar
menampakkan sederetan giginya yang putih bersih.
Kemudian
tiba-tiba ia membuka bajunya, menampakkan beha putih dengan buah dada
besar di baliknya. Ia pun membuka beha itu, melemparkannya ke sudut
kamar, menarik rok panjang, membuka celana dalam sampai akhirnya bugil
sama sekali.
Ia pun menyerbu ke arahku, membenamkan wajahku di
susunya yang besar dan kenyal, meremas-remas kepalaku dengan jemarinya.
Sementara Rinay terus asyik mengayun-ayunkan pantatnya naik turun.
Aku memeluk punggung Cenit, mengulum dan mengunyah susunya yang kenyal. Cewek itu mendengus-dengus ketika putting susunya tergigit lembut.
Aku memeluk punggung Cenit, mengulum dan mengunyah susunya yang kenyal. Cewek itu mendengus-dengus ketika putting susunya tergigit lembut.
Lama kami bercinta segitiga seperti itu, mungkin ada seperempat jam.
“Kita enak-enakan bareng, Kak.” Bisik Cenit sambil meremas.
Aku setuju, dia sudah hampir sampai puncak, aku pun tak tahan dengan ulah Rinay, yang mengocok-ngocok dari atas….
“Kita enak-enakan bareng, Kak.” Bisik Cenit sambil meremas.
Aku setuju, dia sudah hampir sampai puncak, aku pun tak tahan dengan ulah Rinay, yang mengocok-ngocok dari atas….
Cenit
melepas pelukannya dan naik ke atas ranjang, mendudukkan pantatnya di
dadaku mengangkang lebar menampakkan memeknya yang tercukur rapi.
Gundukan dagingnya putih mulus dan kemerahan, bibir kemaluannya tebal
dan dipenuhi cairan kental dan hangat.
Ia memajukan memeknya sehingga sampai di mulutku. Kemudian mulai menekan ke arah mukaku.
“Ahh… ayo Kak! Aku udah gak tahan lagi nih.”
Sambil meremas pinggang dan pantatnya aku pun beraksi. Mengganyang habis kue pie lembut dan basah itu. Cenit segera merintih-rintih ingin segera melepas nikmat. Sementar di belakangnya Rinay tiba-tiba mengempot dan menekan ke bawah,. Tubuhnya ambRinay ke depan, menimpa punggung Cenit yang sedang menekan mukaku.
“Ahh… ayo Kak! Aku udah gak tahan lagi nih.”
Sambil meremas pinggang dan pantatnya aku pun beraksi. Mengganyang habis kue pie lembut dan basah itu. Cenit segera merintih-rintih ingin segera melepas nikmat. Sementar di belakangnya Rinay tiba-tiba mengempot dan menekan ke bawah,. Tubuhnya ambRinay ke depan, menimpa punggung Cenit yang sedang menekan mukaku.
Wajahku semakin tertekan oleh
gumpalan memek Cenit, sementara pahanya menggepit kedua pipiku dengan
kuatnya. Akkkh… aku hampir tidak bisa bernapas. Ya ampun!
“Keluarin bareng, Kak! Aghhh.. ahhh!”
Cenit menekan, Rinay mengempot, dan… aku sesak nafas!
Terdengar suara rintihan panjang berbarengan, Cenit dan Rinay sedang dirasuki kenikmatan. Terasa memek Rinay berdenyut-denyut sembari melepaskan cairan kewanitaannya, sementara mulutku semakin basah oleh cairan memek Cenit yang juga berdenyut melepas nikmat.
“Keluarin bareng, Kak! Aghhh.. ahhh!”
Cenit menekan, Rinay mengempot, dan… aku sesak nafas!
Terdengar suara rintihan panjang berbarengan, Cenit dan Rinay sedang dirasuki kenikmatan. Terasa memek Rinay berdenyut-denyut sembari melepaskan cairan kewanitaannya, sementara mulutku semakin basah oleh cairan memek Cenit yang juga berdenyut melepas nikmat.
Kedua tubuh
cewek itu lunglai setelah menikmati segalanya. Mereka ambruk
berbarengan ke tubuhku. Berat sekali rasanya menahan dua tubuh perempuan
sekaligus, montok-montok lagi.
Seperti menyadari hal itu, Cenit dan Rinay pun bangkit, perlahan Cenit turun dari ranjang, sementara Rinay pun perlahan mengangkat pahanya, kedua tangan bertumpu pada dadaku.
Saat itulah kemaluanku keluar dari liang sanggamanya, cleep.. terdengar seperti bunyi plastik lengket yang sedang dibuka. Tampak kemaluanku masih menegang dan basah bergelimang cairan memek Rinay.
Seperti menyadari hal itu, Cenit dan Rinay pun bangkit, perlahan Cenit turun dari ranjang, sementara Rinay pun perlahan mengangkat pahanya, kedua tangan bertumpu pada dadaku.
Saat itulah kemaluanku keluar dari liang sanggamanya, cleep.. terdengar seperti bunyi plastik lengket yang sedang dibuka. Tampak kemaluanku masih menegang dan basah bergelimang cairan memek Rinay.
Aku
terdiam sejenak, tak tahu harus berbuat apa, karena aku belum lagi
mencapai puncak gadis-gadis ini sudah menghentikan permainnya, ketika
itulah tiba-tiba Liani masuk ke dalam kamar, melihat kepada Rinay dan
Cenit yang sedang mengenakan pakaiannya kembali.
Ketika ia mengalihkan pandangannya ke arahku, matanya terpaku menatap kejantananku yang masih berdiri dengan perkasa, merah dan mengkilat bermandikan cairan kemaluan Rinay.
“Kasihkan sama Liani, Kak!” kata Cenit sambil menyempalkan susunya yang montok itu ke balik beha.
Wajah Liani semburat memerah. Mungkin dia tadi mendengar lolongan Cenit dan Rinay yang berbarengan menahan geli dan enak. Aku tak tahu apakah dia juga sudah terangsang dan ingin di gelitik nikmat lagi?
Ketika ia mengalihkan pandangannya ke arahku, matanya terpaku menatap kejantananku yang masih berdiri dengan perkasa, merah dan mengkilat bermandikan cairan kemaluan Rinay.
“Kasihkan sama Liani, Kak!” kata Cenit sambil menyempalkan susunya yang montok itu ke balik beha.
Wajah Liani semburat memerah. Mungkin dia tadi mendengar lolongan Cenit dan Rinay yang berbarengan menahan geli dan enak. Aku tak tahu apakah dia juga sudah terangsang dan ingin di gelitik nikmat lagi?
Tampaknya
iya, ia mengangkat roknya menampakkan kedua paha yang padat dan putih
mulus. Sementara Rinay dan Cenit bergegas keluar kamar, meninggalkan
kami berdua saja di sana. semerbak wangi harum tubuh Liasni menusuk
hidungku. Gadis ini baru selesai mandi.
Liani naik ke ranjang
bersiap-siap hendak memasukkan kejantananku ke memeknya yang, ya ampun,
ternyata sudah bengkak merekah merah dan basah pula. Tapi siapa tahan
menahan tubuhnya yang tinggi montok itu setelah tadi ditindih oleh dua
gadis montok sekaligus.
Aku bangkit duduk, mendorong sedikit tubuh
Liani, gadis itu seperti kaget. Tapi dia menurut. Kemudian kusuruh ia
berdiri dan … ini dia aku ingin merasakan sesuatu yang lain.
Kusuruh ia berdiri membelakangiku dan menumpukan tangannya di dipan. Posisinya sekarang menungging di depanku, Liani mengerti, ia mengangkat pantatnya lagi, dari belakang disela-sela bongkahan pantatnya, nampak kemaluannya membelah. Cairan kental menitik-nitik banyak sekali.
Kusuruh ia berdiri membelakangiku dan menumpukan tangannya di dipan. Posisinya sekarang menungging di depanku, Liani mengerti, ia mengangkat pantatnya lagi, dari belakang disela-sela bongkahan pantatnya, nampak kemaluannya membelah. Cairan kental menitik-nitik banyak sekali.
Meski
nafasnya ditahan, aku tahu gemuruh di dadanya sudah sedemikian hebat.
Tampak dari buah dadanya yang menggelantung itu bergetar-getar menahan
dentaman jantungnya yang meningkat dahsyat.
Aku ingin masuk dari belakang dan kemaluan Liani sudah siap untuk kutusuk dari arah itu. Liani semakin menunggit menampakkan bongkahan pantat dan memek yang merekah. Aku maju menyorongkan kejantananku ke arah belahan nikmat itu. Creepp.. kejantanankupun coba menerobos dan berusaha keras memasuki liang senggama Liani yang terbuka. Tapi gumpalan pantat Liani cukup menahan gerakananku.
Aku ingin masuk dari belakang dan kemaluan Liani sudah siap untuk kutusuk dari arah itu. Liani semakin menunggit menampakkan bongkahan pantat dan memek yang merekah. Aku maju menyorongkan kejantananku ke arah belahan nikmat itu. Creepp.. kejantanankupun coba menerobos dan berusaha keras memasuki liang senggama Liani yang terbuka. Tapi gumpalan pantat Liani cukup menahan gerakananku.
Egghh.. aku mencoba lagi dan menekan lebih
kuat ke depan. Akhirnya… masuk juga. Oh, rasanya seperti dipilin-pilin.
Aku menekan lagi… kemaluan kami semakin berjalin, tapi bongkahan pantat
Liani seolah menahan gerakanku sehingga aku harus menekan agak lebih
kuat.
“Emhh….” rintih Liani tertahan. “Tekan , Bang…. Emmghhh”
Aku bergerak maju mundur dan menekan-nekan, sekujur batang kemaluanku rasanya seperti dicengkram. Sambil agak membungkuk aku mencoba meraih buah dada Liani, meremas keduanya dari belakang. Hangat besar dan sangat kenyal. Putingnya kuputar-putar dengan dua ujung jari. Membuat gadis itu menggelinjang hebat dan semakin mengangkat pantatnya tinggi-tinggi agar kejantananku masuk lebih dalam.
“Emhh….” rintih Liani tertahan. “Tekan , Bang…. Emmghhh”
Aku bergerak maju mundur dan menekan-nekan, sekujur batang kemaluanku rasanya seperti dicengkram. Sambil agak membungkuk aku mencoba meraih buah dada Liani, meremas keduanya dari belakang. Hangat besar dan sangat kenyal. Putingnya kuputar-putar dengan dua ujung jari. Membuat gadis itu menggelinjang hebat dan semakin mengangkat pantatnya tinggi-tinggi agar kejantananku masuk lebih dalam.
Tubuh kami semakin
berkeringat ketika rasa enak itu semakin memuncak. Aku pun menekan dan
menggosok-gosok lagi dinding memek Liani yang merapat. Agak sulit main
dari belakang, tapi kami menikmatinya. Beberapa manit kami menikmati
permainan itu. Tubuh Liani maju mundur tertekan oleh gerakan tubuhku.
Ketika sedang asyik tiba-tiba gorden kamar kembali terkuak. Sosok tubuh Rinay masuk berkelebat, seperti tak memperhatikan kami gadis itu menuju ke ujung dipan, ternyata celana dalamnya ketinggalan di sana.
Ketika sedang asyik tiba-tiba gorden kamar kembali terkuak. Sosok tubuh Rinay masuk berkelebat, seperti tak memperhatikan kami gadis itu menuju ke ujung dipan, ternyata celana dalamnya ketinggalan di sana.
Kami
tak mempedulikan kehadirannya dan terus saling menekan. Aku menekan ke
depan sementara Liani menekan ke belakang. Kemaluan kami sudah begitu
menyatu erat bermandikan cairan kental. Tubuh kami pun menegang dan
basah oleh keringat yang membanjir. Rasa nikmat semakin meningkat,
semakin lama semakin hebat.
“Aghhh…hhhh” aku menggeram menahan rasa.
Denyutan-denyutan penuh rasa nikmat menyerang kemaluanku. Liani merintih tak kalah dahsyat… bahkan lebih hebat dari erangan Cenit dan Rinay berbarengan.
“Bang… agh! Enak banget,…oh Aku gak tahan lagi!” Cerita Dewasa
“Aghhh…hhhh” aku menggeram menahan rasa.
Denyutan-denyutan penuh rasa nikmat menyerang kemaluanku. Liani merintih tak kalah dahsyat… bahkan lebih hebat dari erangan Cenit dan Rinay berbarengan.
“Bang… agh! Enak banget,…oh Aku gak tahan lagi!” Cerita Dewasa
Samar
kulihat Rinay mengenakan celana dalamnya…. Ketika itu pula aku dan
Liani saling menekan hebat… menahannya dan merasakan detik-detik penuh
kenikmatan. Nafas Liani melenguh-lenguh, keringat bercucuran dari
sekujur tubuhnya. Memeknya menyempit dan … srrr….. keluar banjir yang
hebat. Tubuhnya bergetar menahan rasa geli yang luar biasa. Aku pun
menekan semakin dalam.
"Mmhhh…" berkali-kali kemaluanku seperti meledak dalam cengkraman memek Liani.
Berkali-kali pula lipatan kemaluan gadis itu menyempit dan menggenggam kemaluanku kuat-kuat ketika ia pun melepas nikmat di pagi nan cerah itu.
Berkali-kali pula lipatan kemaluan gadis itu menyempit dan menggenggam kemaluanku kuat-kuat ketika ia pun melepas nikmat di pagi nan cerah itu.
Rinay
mendehem kecil ketika kami menyudahi permainan itu dengan rasa puas.
Liani menjatuhkan tubuhnya yang basah oleh titik keringat di dipan,
menelentang dengan nafas masih terengah-engah. Bibir kemaluannya nampak
membengkak, merah dan berkilat penuh dengan lendir. Rinay pun diam-diam
keluar dari kamar, di dekat pintu ia menyibakkan rambut ikalnya,
menjeling ke arahku, setelah itu ia pun berlalu.
Terima kasih telah membaca artikel tentang Cerita Dewasa | Pesta Seks bersama 3 Gadis Desa dan anda bisa bookmark artikel Cerita Dewasa | Pesta Seks bersama 3 Gadis Desa ini dengan url https://bispak44.blogspot.com/2016/04/cerita-dewasa-pesta-seks-bersama-3.html. Terima kasih